Kasus Tanah Erna Sri Anom Ungkap Lemahnya Transparansi Lembaga Pertanahan

Pekanbaru, Dutapekerjaindonesia.com –| Ada Apa dengan BPN Kota Pekanbaru?
Kasus Tanah Erna Sri Anom Ungkap Lemahnya Transparansi Lembaga Pertanahan
Pekanbaru – Lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjamin kepastian hukum pertanahan, yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Pekanbaru, kini tengah menjadi sorotan. Kasus yang dialami Erna Sri Anom, warga Jalan Kurnia I RT 005/RW 002, Kelurahan Limbungan Baru, Kecamatan Rumbai Pesisir, menjadi gambaran nyata lemahnya transparansi lembaga negara tersebut.
Erna merupakan pemilik sah sebidang tanah di Jalan Erba RT 05/RW 06, Kelurahan Lembah Damai, Kecamatan Rumbai, berdasarkan Surat Akta Hibah Nomor 47/KR/1973. Tanah itu diwarisi secara legal, bahkan titik koordinatnya jelas tercatat: 0.5796400, 101.4511311. Namun niat Erna untuk melakukan pemecahan surat tanah dan peningkatan status kepemilikan justru terbentur masalah serius.
Menurut informasi yang disampaikan Ketua RW setempat, tanah milik Erna diduga telah terbit sertifikat atas nama pihak lain. Sertifikat-sertifikat tersebut antara lain:
SHM No. 01000/2017
SHM No. 00999/2017
SHM No. 00802/2017
SHM No. 00619/2017
SHM No. 00620/2017
SHM No. 01256/2017
Padahal, Erna menegaskan dirinya tidak pernah menjual, mengalihkan, ataupun bekerja sama dengan pihak manapun terkait tanah tersebut.
BPN Bungkam
Untuk memastikan kebenaran informasi ini, Erna secara resmi melayangkan surat permohonan klarifikasi ke BPN Kota Pekanbaru. Sesuai aturan keterbukaan informasi publik, jawaban seharusnya diberikan dalam waktu 14 hari kerja ditambah perpanjangan 7 hari. Namun, jawaban tak kunjung datang.
Setelah 14 hari berlalu, tidak ada kepastian dari BPN. Erna kembali mengirimkan surat kedua untuk meminta kejelasan, namun justru ditolak tanpa alasan yang jelas.
Indikasi Maladministrasi
Praktik ini mengindikasikan adanya pelanggaran prinsip keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Bahkan, tindakan BPN Pekanbaru dapat dikategorikan sebagai maladministrasi, karena menolak memberi pelayanan informasi yang seharusnya menjadi hak masyarakat.
Keterbukaan informasi pertanahan sangat penting untuk mencegah sertifikat ganda dan konflik agraria, yang selama ini menjadi akar masalah hukum tanah di Riau. Dengan tertutupnya informasi ini, muncul pertanyaan besar: ada apa dengan BPN Kota Pekanbaru?
Publik Berhak Tahu
Kasus Erna Sri Anom hanyalah salah satu potret kecil dari persoalan besar pertanahan di Indonesia. Jika BPN Pekanbaru enggan transparan, bukan tidak mungkin banyak kasus serupa menimpa warga lain. Hak masyarakat untuk mengetahui status tanahnya dijamin konstitusi, dan lembaga negara berkewajiban menjawab, bukan membungkam.
Kini publik menunggu, apakah BPN Kota Pekanbaru berani membuka data dan memberikan klarifikasi, atau justru terus menutup diri di balik birokrasi yang kaku?, sebagaimana isi Testimoni pelayanan BPN Pekanbaru sebagian besar bersifat positif, menekankan bahwa pelayanannya baik dan timnya siap membantu.*wir
Tulis Komentar